Oleh : Monas Junior *
Apakah Anda seorang jurnalis atau punya niat serius menekuni dunia jurnalis? Tolong baca tulisan ini. Mari kita sharing -bukan bermaksud menggurui-. Dan, mari belajar bijak.
Dunia pers di Provinsi Jambi kian memprihatinkan. Di tengah pesatnya media sosial yang membuat media-media konvensional makin terjepit, perkembangan dunia ini kian lambat dan malah makin mengalami kemunduran.
Ini diperburuk dengan kondisi para pelaku profesi pers atau jurnalis atau biasa dikenal dengan sebutan wartawan, lambat laun mengalami degradasi. Parahnya lagi, jiwa korsa di dalam dada sebagian kawan-kawan jurnalis, mulai hilang bersamaan dengan pesatnya industri media online yang, bisa dikatakan, terlalu cepat dewasa sebelum usianya.
Degradasi Jurnalis
Degradasi dari KBBI dapat diartikan sebagai; kemunduran, kemerosotan, penurunan, dan sebagainya (tentang mutu, moral, pangkat, dan sebagainya). Degradasi jurnalis dapat diartikan; kemerosotan atau lunturnya mutu/nilai, moral, dan norma yang berlaku di diri jurnalis.
Sebelum membicarakan ini, ada baiknya melihat lebih luas fungsi dan kedudukan pers di Indonesia.
Dalam negara demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan berhak mengetahui apa yang terjadi terhadap seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan dan penghidupan rakyat (baca faq tentang peranan pers – Dewanpers.id https://dewanpers.or.id/kontak/faq/start/290).
Pers menciptakan keterbukaan pada pemerintahan sekaligus dimungkinkan adanya alternatif pemikiran, saran, kritik dan pengawasan kepada pemerintah dan para pihak yang terkait yang berujung pada terciptanya tatanan bernegara dan berbangsa yang demokratis. Memenuhi hak masyarakat inilah yang juga sering menyebabkan pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi.
Adanya peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui inilah yang membuka pintu bagi pers mencari, mengumpulkan, mengolah, menyimpan, memiliki dan menyiarkan informasi. Pintu ini pulalah yang membuat pers dapat dan boleh mewawancarai mulai dari para pejabat publik, politikus, pengusaha sampai rakyat biasa.
Dengan terbukanya pintu ini pula dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 ditegaskan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan siaran. Tidak hanya itu, sebagai konsekuensinya, bagi mereka yang menghalang-halangi tugas dan fungsi sesuai dengan amanah yang diberikan oleh UU Pers, diancam sebagai perbuatan yang melanggar kemerdekaan pers.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa nilai pers sangat tinggi di mata hukum dan negara demokratis. Sebagai penjaga demokrasi dan pilar ke empat demokrasi, moral dan norma jurnalis sangat dibutuhkan.
Sementara fakta saat ini berbeda jauh dengan harapan. Ibaratnya, jauh panggang dari tiang. Coba kita perhatikan.
Paling dekat, bisa lihat insiden “serangan” salah satu media online di Jambi terhadap sosok jurnalis dari media online lain. Tulisan di media online itu, sangat mencoreng dan memalukan jurnalisme di Jambi. Ini seperti memukul air di dulang, kena muka sendiri.
Seakan tak percaya, berkali-kali dibaca, ternyata memang apa yang ditulis di media online itu sangat subyektif. “Serangan”-nya terfokus kepada media online dan sosok jurnalis di media online yang “diserang” itu.
Jika ada pencatat sejarah, ini adalah catatan terburuk di antara sekian banyak sejarah perkembangan jurnalisme di Provinsi Jambi. Sekali lagi, TERBURUK!
Degradasi jurnalis bisa dilihat begitu kentara di insiden (sebaiknya pakai kata insiden sebagai bentuk ketidaksengajaan -semoga saja begitu) ini.
Di kemanakan nilai, mutu dan moral jurnalis pada insiden ini? Tidakkah yang menulis sadar, bahwa dia adalah jurnalis juga, seseorang yang berprofesi sebagai pewarta? Seorang penjaga demokrasi?
Apakah penulis “serangan” tak sadar, bahwa ketika ia “menyerang” subyek oknum jurnalis, ia juga “menyerang” profesinya sendiri? Ini tak ubahnya, membuka aib rumah tangga sendiri. Orang yang mendengar atau mengetahui akan senang, tertawa, mencemooh dan menghina, bukannya malah simpati dan perhatian. Sadarkah kau, kawan?
Jika sudah begini, perlu diajukan pertanyaan terpenting. Yakni, bisakah dirimu hidup seorang diri? Bisakah kau membela dirimu sendiri ketika kau “diserang” habis-habisan oleh orang di luar dunia jurnalis? Siapa yang akan membelamu (jika kau terbukti sudah menyerang dirimu sendiri)?
Jiwa Korsa yang Mulai Hilang
Pertanyaan-pertanyaan di atas ada kaitan erat dengan jiwa korsa. Ya, jiwa kesatuan. Pers di Jambi mulai kehilangan jiwa korsa-nya.
Dikutip dari laman Wikipedia, Jiwa korsa (bahasa Perancis: esprit de corps) adalah kesadaran korps, perasaan sebagai suatu kesatuan, kekitaan, kecintaan terhadap suatu perhimpunan atau lembaga. Jiwa korsa dapat berupa banyak hal, seperti rasa hormat kepada korps, setia pada sumpah, janji dan tradisi, kesadaran bersama antarkawan dalam satu korps, dan kebanggaan menjadi anggota korps.
Konsep jiwa korsa pertama kali diperkenalkan oleh Napoleon Bonaparte dalam strategi peperangan, bahwasanya tentara dalam satu unit harus saling setia, bahu-membahu dan melindungi untuk memenangkan suatu perang.
Baiklah, jurnalis bukan tentara. Jurnalis juga bukan berada dalam pertempuran nyata. Tetapi, jurnalis berada di pertempuran maya dengan medan menegakkan demokrasi sebagai pondasi negara.
Karena itu, jurnalis semestinya saling bahu membahu dan saling melindungi untuk memenangkan demokrasi demi negara dan rakyat tercinta ini.
Satu diganggu, yang lain ramai-ramai bersatu dan membela. Inilah yang dimaknai jiwa korsa itu. Kuat karena bersatu, lemah karena bercerai.
Bukan malah menggunting dalam lipatan dan menikam dari belakang. Serendah inikah jiwa korsa jurnalis di Jambi?
Padahal, kenangan tentang jiwa korsa yang kuat di kalangan jurnalis, sangat melekat beberapa tahun lalu. Catatan sejarah tak bisa diingkari. Pada kasus Pohon Natal dan Lafaz Allah di Novita Hotel pada 23 Desember 2016, kondusifitas Jambi tak terlepas dari peran pers, aktivis dan seluruh elemen masyarakat.
Sewaktu itu, isu agama sangat sensitif. Apapun terkait isu ini pasca demo 212 di Jakarta, akan mendapat perhatian lebih dari sebagian besar masyarakat. Malangnya, adanya lafaz Allah di dalam gambar telapak kaki bawah pohon Natal dalam Hotel Novita Jambi, membuat emosi masyarakat meledak.
Begitu terekspose ke permukaan, hotel itu diserbu masyarakat Kota Jambi. Amuk massa hampir terjadi jika pemangku kebijakan tak tegas pada malam kejadian itu.
Dini hari, penyebar informasi soal lafaz Allah ini diperiksa. Mulai dari beberapa wartawan hingga beberapa orang aktivis yang menyebarkan konten tentang pohon natal Novita ini ke media sosial. UU ITE mengintai beberapa wartawan dan akvitis.
Tak butuh waktu lama bagi hampir semua jurnalis untuk bersatu membela kawan-kawannya yang sedang diperiksa polisi terkait kasus itu. Betapa indahnya kala itu. Jiwa korsa di dada jurnalis menggerakkan mereka untuk bergantian menjenguk rekan-rekan yang diperiksa di Polresta Jambi. Akomodasi dan konsumsi terus dialirkan selama pemeriksaan. Dukungan moral tak putus-putus!
Kapolda dan Kapolresta Jambi kala itu, meminta agar media tak lagi memberitakan kasus pohon natal Novita. Tujuannya agar tak “membakar” emosi masyarakat sehingga akan memperburuk situasi di Jambi. Bayangan efek demo 212 sangat mengkhawatirkan. Sedikit saja disulut, kemarahan massa akan tak terkendali!
Untungnya pers di Jambi segera paham dan mau bekerjasama. Sejah hari itu, berita soal pohon natal ditahan dan tak dikejar lagi perkembangannya. Sementara, dukungan kepada kawan-kawan jurnalis yang masing diperiksa di Polda Jambi, terus dilakukan secara berkelanjutan.
Dari hari ke hari, mulai pagi sampai malam, awak-awak jurnalis berdatangan mendampingi dan memberi dukungan moral kepada kawan-kawan jurnalis yang diperiksa. Ditambah pendampingan seorang pengacara yang juga mantan aktivis lingkungan kala itu, pemeriksaan dikawal dengan ketat.
Tak pernah satu haripun terlewat dukungan dari kawan-kawan jurnalis. Ini membuat para penyidik kasus itu angkat topi. Beberapa di antaranya mengacungkan jempol atas solidaritas dan jiwa korsa para wartawan yang hadir.
Selain itu, jiwa korsa juga ditunjukkan kawan-kawan aktivis. Seperti jurnalis, mereka juga mengawal pemeriksaan kasus rekan-rekannya yang diperiksa dengan ketat. Sehingga, jurnalis dan aktivis, memenuhi Mako Polda Jambi dengan damai dan penuh perhatian atas kasus itu.
Hasil akhir, pelaku pembuat lafaz di bawah pohon natal Novita Jambi itu terkuak. Penyidikan dialihkan ke pelaku. Sementara, jurnalis dan aktivis yang diperiksa diperbolehkan pulang. Betapa suka citanya kala itu. Seperti memenangkan pertempuran berkat jiwa korsa yang kuat!
Ini salah satu bukti, bahwa persatuan, akan membuat kekuatan tumbuh dengan sendirinya. Jiwa korsa dengan saling melindungi dan mendukung, membuat jurnalis dan aktivis lepas dari jerat UU ITE kala itu.
Apakah ada jurnalis atau aktivis di antara pembaca tulisan ini merupakan pelaku sejarah kasus pohon novita Jambi? Setujukah kau, kawan, tentang jiwa korsa kita ini? Semoga kita bisa menyimpan kenangan “manis” ini untuk selamanya.
Kata-kata Diselesaikan dengan Kata-kata (Tulisan Diselesaikan dengan Tulisan)
Mari lupakan sejenak soal jiwa korsa. Kita beralih ke kasus pidana undang-undang pers.
Akhir-akhir ini, “penyakit” lama di tubuh pers kembali “meradang”. Yakni, ancaman pidana gara-gara berita. Lebih jelasnya, KUHP versus Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999.
Ada beberapa kasus ketika gara-gara berita, pers atau media massa di Jambi, digugat atau dilaporkan ke lembaga hukum dengan menggunakan pasal KUHP. Semisal, pencemaran nama baik atau UU ITE.
Ini sangat tidak baik untuk iklim jurnalisme di Jambi dan Indonesia pada umumnya. Penggunaan pasal KUHP untuk kasus pemberitaan, sangatlah tidak tepat. Yang tepat, mestinya merujuk pada UU Pers nomor 40 tahun 1999.
Diambil dari laman Dewanpers.id (https://dewanpers.or.id/kontak/faq/start/290, tentang apakah uu pers termasuk lex specialis), dari alasan teoritis maupun yuridis Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memenuhi syarat untuk dikatagorikan sebagai lex specialis.
Secara teoritis profesi jurnalistik yang diperankan oleh wartawan mendapat tempat yang khusus. Undang-undang tentang pers mengadopsi, mangakui dan menerima teori-teori yang berkembang secara universal dengan cara memasukan ke dalam batang tubuh Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dengan demikian, karena secara teoritis profesi wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik diatur secara khusus, maka mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul sebagai akibat pemberitaan pers harus pula didekati dan diselesaikan secara khusus pula.
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur secara khusus mekanisme penyelesaian akibat pemberitaan pers dengan bahasa yang lebih singkat, yakni kesalahan produk jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik pula. Kesalahan katakata harus diselesaikan dengan kata-kata juga.
Hak jawab adalah puncak muara dari semua mekanisme ini. Kesalahan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme hak jawab. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers secara khusus mengakui, menerima dan mengejewantahkannya.
Bahkan dari dulu hingga kini, Dewan Pers berpegang teguh dengan ini : “Kata-kata diselesaikan dengan kata-kata”. Ada banyak pengaduan yang masuk ke Dewan Pers, rekomendasi yang diturunkan akan kembali ke pondasi dasar Pers, yakni, HAK JAWAB. Bukannya, PI-DA-NA.
Ini berlaku untuk media massa yang bekerja secara profesional. Tertib di dokumen lembaga maupun kode etik jurnalistik. Produk jurnalistik ini pula yang membedakan dengan media sosial.
Medsos wajar diintai dengan KUHP atau UU ITE. Itu karena medsos bukan media massa profesional. Di medsos, cenderung terjadi ketika banyak orang dengan “gegabah” menjadi “wartawan”. Status bukanlah produk jurnalistik. Tetapi berita yang dikeluarkan media massa baik cetak, elektronik maupun daring, barulah masuk ke kategori produk pers.
Setelah menjadi berita dan tayang, maka ini sudah masuk kategori produk pers dan dilindungi UU Pers nomor 40 tahun 1999. Jika ada masalah dengan kata-kata akibat produk pers, ya, harusnya diselesaikan dengan kata-kata, bukannya pidana.
Berkaca dari pengalaman, asal berpegang teguh dengan UU Pers nomor 40 tahun 1999, semoga konflik pers akan selesai dengan mekanisme pers itu sendiri. Jangan mau diseret ke pidana. Jika terseret dan dipaksa diseret-seret, bisa paksakan kembali ke UU Pers dengan menggunakan mekanisme PRA PERADILAN lembaga hukum yang memaksa tersebut.
“Dewasa” Sebelum Saatnya
Fenomena lain yang perlu diteliti, adalah jurnalis yang “dewasa” sebelum saatnya. Kenapa begini? Baik, mari kita bedah secara sekilas. Karena kalau dikupas habis, perlu waktu dan kajian mendalam. Setidaknya, ada gambaran untuk didiskusikan lebih dalam lagi.
Perkembangan dunia internet membuat pertumbuhan media online makin pesat. Dengan cukup bermodal domain name (nama situs) dan sewa hosting (baik share hosting ataupun VPS hosting), seseorang sudah bisa punya media online/daring-dalam jaringan-.
Bermodal template dan CMS –content management system-, pembuatan konten/artikel jadi lebih mudah. Otak-atik sebentar, tambah logo dan seting ini itu, daftarkan ke search console google supaya terindeks di situs pencarian google, bikin fans page di medsos seperti Facebook, Twitter dan Instagram, dan… bang, situs jadi.
Bahkan ada juga yang membuat situs media online menggunakan AGC (Auto Generate Content). Cukup copy dari sana-sini, lalu paste ke situs (manual atau otomatis), dan… bang lagi, lagi-lagi situs jadi. Tiba-tiba ownernya sudah jadi wartawan. Media online siap berlayar mengabarkan informasi.
Dalam waktu singkat, situs media online itu sudah berlayar di dunia maya. Tak peduli siapa jurnalis di belakangnya, pengalamannya maupun mutu tulisannya. Yang penting, situs jadi, link bertebaran di medsos-medsos, maka eksis sudah media online itu. Pemiliknya adalah wartawan, terkadang merangkap segalanya. Mulai dari wartawan dia, redaktur dia, pemimpin redaksi dia, buzzer dia dan ownernya dia. Satu orang untuk pengoperasian media itu.
Sebegitu mudahnya membuat media online saat ini. Dan, sebegitu gampangnya menjadi jurnalis lewat media online. Degradasi jurnalis kembali terjadi.
Padahal… dulu, jauh sebelum media online berkembang pesat, menjadi jurnalis profesional bukanlah perkara gampang. Perlu pelatihan-pelatihan kontinyu, perlu waktu, perlu gemblengan lapangan yang penuh asam-garam, perlu jenjang karir yang jelas hingga akhirnya seseorang bisa dikatakan wartawan yang “dewasa” pada saatnya.
Setidaknya, di zaman kejayaan koran, ada jenjang jurnalis yang tersedia berdasar pengalaman dan prestasi sesuai ketentuan manajemen.
Jenjang jabatan wartawan, antara lain :
1. Jurnalis magang/wartawan magang (biasanya 3 bulan)
Dalam prakteknya, wartawan magang diwajibkan mengikuti wartawan tetap/senior. Mulai dari peliputan, penulisan hingga pengeditan berita, wartawan magang diwajibkan melekat kepada seniornya. Ibaratnya, sebagai anak balita, wartawan magang ini dituntun dan ditatah oleh kakaknya sang wartawan senior.
Sampai akhirnya sang “balita” bisa berjalan sendiri walau dengan langkah terseok-seok. Dalam proses ini, biasanya wartawan magang ini diberi kode berita CR/MG. CR untuk calon reporter dan MG untuk magang. Penggunaannya seperti (CR01) atau (MG01), jika ia yang pertama jadi wartawan magang. (CR02)/(MG02) kalau dia yang kedua.
2. Jurnalis/wartawan tetap (sudah diangkat jadi karyawan dan melalui masa magang)
Setelah melalui proses magang dan dinyatakan layak jadi wartawan, wartawan baru ini dinobatkan sebagai wartawan tetap.
Nantinya, si wartawan lulus magang ini akan ditempatkan di pos liputan oleh redakturnya. Di sinilah ia sehari-hari akan berkutat dengan peliputan dan penggalian informasi untuk dijadikan berita. Dan kode di dalam berita akan diubah menjadi inisial sesuai namanya. Atau kode lain yang disepakati oleh si wartawan dan pemimpin redaksi. Semisal, (JNI) untuk singkatan dari JONI.
Proses menjadi wartawan biasa ini, memakan waktu hingga bertahun-tahun. Selama ini pula, si wartawan tetap ini akan dipindah-pindah tugaskan. Dari satu pos ke pos lain sehingga pengalaman dan wawasannya semakin luas.
Semisal, biasanya di pos liputan pemerintahan, akan dipindahkan ke pos liputan hukum dan kriminal. Lalu ke bisnis dan pendidikan. Kalau perlu, dipindahkan dari satu daerah kabupaten ke daerah kabupaten lain. Sehingga, dari tahun ke tahun, mekanisme pengayaan pengalaman ini melekat di diri wartawan itu.
Disadari atau tidak disadari, lambat laun wartawan itu menjadi “penuh” dan benar-benar “dewasa” pada saatnya. “Dewasa” di sisi wawasan, mental dan pengalaman.
Dan sadar atau tidak sadar, instingnya telah tumbuh dengan matang. Mulai dari insting berita –mencium seperti anjing, melihat seperti elang, mendengar seperti kelelawar-, insting keamanan –waspada dan penuh kehati-hatian serta memperluas jaringan keamanan- hingga insting pengetahuan –haus akan pengetahuan baru karena sadar bahwa menghadapi narasumber dan situasi selama peliputan membutuhkan pengetahuan yang luas-.
Ini pula yang menjadikan sarat utama sebagai wartawan menjadi tinggi. Harus sarjana minimal strata 1. Kalau tak sarjana, tak bisa jadi wartawan. Bayangkan jika seorang wartawan lulusan SMA berhadapan dengan nara sumber yang lulusan sarjana, tentu wibawa wartawan itu akan jatuh di mata nara sumber. Sarat utama ini dipegang hampir seluruh media cetak kala itu.
Sehingga, begitu seseorang ditetapkan sebagai wartawan tetap di satu perusahaan pers, tentunya ia adalah sarjana dan punya wawasan yang luas.
3. Redaktur/Editor
Ini jenjang ketiga jurnalis. Redaktur/editor adalah wartawan “dewasa” yang dirasa sudah layak menjadi editor atau penyunting atau pengedit berita dari wartawan biasa/tetap.
Biasanya, redaktur dipilih dari wartawan-wartawan tetap yang prestasinya lumayan bagus dan berita-beritanya menonjol. Standar utama adalah seberapa sering berita sang wartawan senior itu tampil di halaman utama koran/media cetak. Dan, seberapa gesit dan lihainya ia di lapangan selama meliput.
Standar-standar lain yang tinggi dan ketat, membuat seleksi menjadi Redaktur seperti seleksi eselon III di pemerintahan.
Redaktur bisa diibaratkan “gawang” pertama dari jurnalis ke manajemen/Pemimpin Redaksi. Pemred bisa diibaratkan Sekda di pemerintahan daerah.
Berada di posisi redaktur bukanlah perkara mudah. Wawasan yang dibutuhkan juga menjadi lebih kompleks. Mulai dari wawasan lapangan, wawasan isu terkini, wawasan narasumber, wawasan keamanan, termasuk wawasan bisnis dan tata bahasa yang baik dan benar.
Lewat redaktur, berita-berita dari wartawan diseleksi dan dipoles sedemikian rupa sehingga lebih menarik dan memenuhi kriteria jurnalistik yang bermutu dan bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat.
Di posisi ini, redaktur akan berlomba-lomba menunjukkan kualitasnya lewat kerja keras dan cerdas. Butuh bertahun-tahun untuk seorang redaktur naik ke jenjang berikut.
4. Koordinator Liputan (Korlip)
Korlip (dibawah redaktur pelaksana-redpel), jika diibaratkan, sudah masuk ke jenjang eselon II di pemerintahan. Kalau di pertempuran, Korlip tak ubahnya perwira menengah. Ia yang mengkoordinir pasukan dan kepentingan pasukan di bawah.
Karena itu, seorang korlip harusnya wartawan dan redaktur yang benar-benar menguasai medan tempur. Bisa menyesuaikan dalam situasi apapun. Cepat menganalisa dan membuat keputusan untuk dibawa ke perwira tinggi untuk kemudian dijadikan perintah yang akan dieksekusi.
Perintah-perintah dari Pemred, diteruskan ke korlip untuk dilaksanakan oleh redaktur dan wartawan. Masalah-masalah wartawan di lapangan diteruskan oleh wartawan ke redaktur dan korlip meneruskan lagi ke Pemred. Gugus koordinasi yang saklek ini membuat sistem jurnalistik di media massa cetak begitu kuat hingga bertahun-tahun lamanya.
Wartawan menjadi nyaman melaksanakan tugasnya karena ada korlip yang menjaga dirinya dan redaktur yang menjaga kualitas dan keamanan beritanya. Terlebih, ada Pemred sang jenderal yang siap pasang badan untuk dirinya jika ia dalam tekanan sementara ia berada di posisi yang benar.
Korlip bisa diibaratkan gawang ke 2 untuk menembus manajemen/Pemred, setelah redaktur.
5. Redaktur Pelaksana (Redpel)/Wakil Pemred
Setelah lolos jadi korlip dan ditetapkan layak naik jenjang, ia akan menempati posisi eselon II setengah. Yakni, Wakil Pemred/Redpel. Tugasnya seperti korlip, tetapi jauh lebih kepada teknis-teknis keredaksian.
Redpel jauh lebih ke pengawasan para redaktur. Teknis-teknis ke-redaktur-an, diurusi oleh Redpel. Redpel akan berkoordinasi melekat dengan Pemred. Dan mengejewantahkan sebagian instruksi ke Korlip. Juga berkoordinasi soal peliputan dengan Korlip.
Di sebagian perusahaan pers, posisi redpel ini tidak ada. Sebagian lain memakai jabatan ini sebagai “benteng” terakhir ke Pemred.
Untuk mencapai posisi ini, butuh waktu belasan hingga puluhan tahun oleh seorang wartawan. Seleksi alam yang ketat terjadi di posisi ini. Karena dalam satu perusahaan pers, biasanya hanya ada 1 Redpel dan 1 Korlip. Maka, yang mencapai posisi ini, tentunya seorang jurnalis yang sangat terlatih dan sangat “dewasa” baik di lapangan maupun di kantor.
6. Pemimpin Redaksi (Pemred)
Pemimpin redaksi (pemred) bisa diibaratkan Sekda di pemerintahan dan Jenderal di medan pertempuran. Ia adalah mata dan arah redaksi. Ia juga benteng terakhir perusahaan pers. UU Pers nomor 40 tahun 1999, membuat kaki seorang Pemred sebelah di penjara sebelah di luar. Bisa diibaratkan begitu, saking pentingnya posisi ini di satu perusahaan pers.
Jika menjadi wartawan, redaktur, korlip, redpel, butuh waktu hingga puluhan tahun, bagaimana dengan Pemred? Tentu lebih lama lagi. Tentu melalui proses yang tak sedikit dan sangat kompleks. Butuh wawasan penuh dan tak sekadar “dewasa”.
Pemred harus menguasai segala hal di keredaksian dan di jurnalistik. Kerja-kerja jurnalistik harus dikuasainya dengan matang. Tak boleh ada yang terlewat oleh pemred, kalau tidak, seluruh redaksi akan tergganggu dan pada akhirnya mengganggu perusahaan pers itu sendiri.
Di masa peperangan atau pra kemerdekaan, Pemred adalah Jenderal sekaligus Bos Perusahaan. Baik idealisme maupun bisnis, harus seiring sejalan dengan kebijakan Pemred. Tetapi, di era pers industri ini, Pemred adalah perpanjangan tangan manajemen (Direktur atau Generam Manager). Sehingga, tak jarang terjadi konflik interest antara Pemred dengan jajaran manajemen dalam pembuatan kebijakan dan penurunan berita.
Terlepas dari itu semua, Pemred adalah posisi tertinggi di karir wartawan. Posisi paling tidak enak dan membuat tidur tidak nyenyak. Sebab, seluruh jiwa dan raga, harus siap dipasang untuk kemanan seluruh jajaran redaksi dan manajemen.
Lihat, betapa beresikonya posisi Pemred. Dan, betapa sulitnya menjadi Pemred.
Fakta saat ini, menjadi Pemred berbanding terbalik dengan apa yang dipaparkan di atas. Atau, apa yang terjadi berpuluh-puluh tahun lalu sebelum media daring berkembang pesat.
Wartawan yang –maaf-, baru kemarin sore belajar menulis berita, pagi ini sudah punya media online hingga menjadi Pemred di medianya sendiri.
Apakah itu salah? Tidak. Tentu saja tidak. Asal, ia benar-benar bisa menjalankan fungsinya sebagai Pemred, Sang Jenderal Tempur penjaga redaksi dan dunia jurnalistik di media itu. Agar jurnalisme tak terdegradasi oleh ketidakmampuan dan ketidaktahuannya yang “dewasa” sebelum saatnya.
Melihat dari fenomena yang ada saat ini di Jambi, tak bisa dihindari lagi bahwa degradasi jurnalis makin memprihatinkan. Wahai senior-senior, bergeraklah untuk membina. Wahai junior-junior, belajarlah untuk mengejar “kedewasaan”.
Kembalilah ke nilai-nilai mulia diri kita sebagai seorang penjaga demokrasi! Dan, jangan terbawa emosi. Emosi tak pernah menghasilkan kebaikan, hanya memperburuk keadaan.
Mari kita tegakkan lagi jiwa korsa jurnalis. Bahwa seorang jurnalis diganggu, jurnalis lain akan bersatu untuk melakukan pembelaan. Jangan mau dipecah belah, karena kalau bukan kita yang saling bela, siapa lagi?
Salam hangat dari sesama jurnalis yang ingin belajar bijak dan rindu jurnalisme bermutu-bersatu.(***)
Discussion about this post